Scroll untuk baca artikel
#
Pemilu 2024

Strategi Pengawasan dalam Tantangan Pemilu Tahun 2024

643
×

Strategi Pengawasan dalam Tantangan Pemilu Tahun 2024

Sebarkan artikel ini

Oleh Azlansyah Hasibuan

Medan – Menurut Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah “Sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pekalongankab.Bawaslu.Go.Id, n.d.).

Sedangkan Bawaslu sebagai institusi pemerintah guna menjalankan tugas, wewenang, dan kewajibanya, kerja Bawaslu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu dimana hal tersebut Bawaslu harus memiliki loyalitas, kordinasi dan singkronisasi yang baik antar elemen masyarakat, stackholder, lembaga maupun intansi yang terkait, sebagaimana ditegaskan dalam aturan perundangundangan untuk mengawal jalannya pesta demokrasi dengan harapan dapat berjalan dengan baik guna memberikan sumbangsih positif untuk kualitas demokrasi bangsa Indonesia. Amanat ini harus dijalankan bersama-sama sebagai negara yang memegang sistem demokrasi pancasila, tanpa adanya pengawasan maka tidak berjalan sesuai dengan apa yang telah ditetapkan.

Tantangan Pemilu Tahun 2024

Pemilu yang baik merupakan manifestasi dari demokrasi yang baik, dan demokrasi yang buruk adalah implementasi dari pemerintahan yang buruk (M. Ghaffar, 2013). Pemilihan umum yang baik berdasarkan prinsip LUBER dan JURDIL akan menghasilkan pemerintahan yang berkualitas sehingga dapat dipercaya dan diterima oleh masyarakat. Tujuan akhir tentunya akan bermuara pada terselenggaranya pemerintahan yang baik (good governance) yang adil dan bermanfaat bagi rakyat. Pemilu demokratis yang menjamin persaingan yang sehat dengan mengikutsertakan partisipasi masyarakat dapat diakui ketika masyarakat memiliki tingkat keterwakilan yang tinggi dalam menyelenggarakan pemilu.

Mengingat tahun politik yang akan berlangsung pada tahun 2024, situasi demokrasi haruslah tetap stabil. Mulai dari pencalonan pasangan calon, pendaftaran, elektabilitas pasangan calon hingga masa kampanye. Berkaca pada tahun 2019, hiruk pikuk suasana politik dalam menyambut tahun Pemilu yang juga diwarnai dengan banyaknya sengketa Pemilu. Bawaslu mencatat, ada 502 sengketa Pemilu dengan rincian 21 dinyatakan batal, 2018 melalui mediasi, 52 mengabulkan sebagian, 97 dikabulkan, 72 ditolak, dan 41 kasus diproses yang ditangani sepanjang 2018 (Irwan, 2018). Angka tersebut dihitung dari tahap awal Pemilu 2019, yakni tahap verifikasi parpol yang berlanjut pada tahap pencalonan, tahap kampanye, hingga tahap penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Dengan demikian dari data tersebut tentunya ada beberapa tantang yang juga akan terjadi sebelum atau selama proses pemilu sebagai berikut:
(1) Money Politic Politik Uang dapat diartikan sebagai upaya untuk mempengaruhi perilaku orang lain dengan menggunakan imbalan tertentu. Secara garis besar dapat diartikan bahwa politik uang adalah suatu tindakan jual beli suara dalam proses politik dan kekuasaan kepada pemilih baik secara langsung maupun tidak langsung. Praktik ini terjadi dalam cakupan berjenjang dan luas, mulai dari pemilihan kepala desa hingga pemilihan kepala negara. Praktik yang sering terjadi pada masa tenang, dan pada saat menjelang Pemilu (serangan fajar). Politik uang dinilai sebagai praktik yang sangat jelas mencederai demokrasi, bahkan saat ini politik uang yang sering terjadi saat Pemilu, seolah menjadi syarat wajib bagi setiap calon pejabat yang akan memperebutkan kursi kekuasaan di legislatif, pemilihan eksekutif dan presiden, untuk mendapatkan dukungan dan suara yang sebesar-besarnya dari masyarakat, tentunya pejabat yang menjual visi misinya dengan politik uang tidak bisa dibiarkan begitu saja, jika dibiarkan, praktik politik uang akan terus terjadi, sehingga realitas politik uang seolah menjadi budaya atau tradisi dalam pemilu, dengan menodai makna dan filosofi demokrasi yang sebenarnya.

(2) Identity Politic Politik identitas masih berpeluang besar terjadi pada kontestasi Pemilu 2024, isu identitas kerap menghiasi panggung politik untuk meraih suara sebanyak-banyaknya. Refleksi politik identitas yang begitu jelas saat Pilkada DKI Jakarta salah satunya Ahok dan Anies yang mencirikan korban praktik politik etnis Tionghoa dengan Islam. Praktik ini berdampak pada lemahnya prinsip demokrasi dan nilainilai Pancasila yang sesuai dengan ketentuan UUD 1945 sehingga dapat mengancam prinsip demokrasi pada pemilu Indonesia mendatang. Manuver politik para calon pemimpin yang terjadi dapat dilihat dari siapa pendukung rakyat di belakang dan usungan dari sejumlah partai Islam dan partai nasionalis yang sudah memiliki basis masingmasing. Konteks gerakan konservatif ini tidak lepas dari kepentingan politik yang diusung oleh elit politik untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan dengan cara memanipulasi politik.

(3) Hate Speech Pada era digital ini, ujaran kebencian tak hanya dilakukan dalam dunia nyata saja tetapi bertumbuh dengan subur di lahan yang dinamakan internet atau jejaring maya. Hal ini dikarenakan internet mampu menyediakan distribusi yang murah, cepat dan anonim akan ujaran kebencian serta dapat dengan mudah diakses. Ujaran kebencian di media menurut Cohen adalah segala pemberitaan opini yang bertujuan mengobarkan kebencian, prasangka tak berdasar dan kemarahan yang tidak rasional kepada sekelompok orang yang berbeda paham. Aliran dan pendapat dengan mereka. Ujaran kebencian ditujukan kepada seseorang atau sekelompok karena karakteristik bawaan mereka seperti jenis kelamin, etnis, ras, agama, warna kulit. Data selanjutnya mengenai hate speech pada Pilgub DKI Jakarta tahun 2017 diperoleh dari hasil laporan Wahid Foundation. Salah satu konsen meningkatnya isu SARA, dan Ujaran kebencinan hingga berita bohong. Dalam laporan KBB 2017, Wahid Foundation secara keseluruhan mencatat sebanyak 213 peristiwa dengan 265 tindakan pelanggaran. Jumlah peristiwa pada 2017 ini naik dibanding 2016 dengan 204 peristiwa. Dari segi persebaran wilayah, DKI Jakarta menduduki peringkat pertama terjadi pelanggaran KBB (50 peristiwa).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *