Jakarta | Informasirakyat.com
Presiden Amerika Serikat Joe Biden dan Presiden China Xi Jinping dijadwwalkan akan bertemu empat mata di sela-sela KTT G20 Bali.
Pembicaraan yang dijadwalkan berlangsung pada 14 November itu akan menjadi yang pertama kalinya sejak Biden menjabat sebagai Presiden AS pada awal 2021.
Dalam sebuah pernyataan pada Kamis (10/11/2022), Gedung Putih mengatakan Biden akan berbicara dengan Xi tentang upaya untuk mempertahankan dan memperdalam jalur komunikasi antara kedua negara pada saat ketegangan meningkat.
Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Prof. Dr. Muhammad Azhar, MA mengatakan, bertemunya Bidan dan Jinping di sela-sela KTT G20 Bali, diharapkan membawa angin segar bagi upaya perdamaian dunia.
“Kita harus berbangga, dimana Indonesia bisa memberi ‘ruang’ kepada kedua pemimpin negara adidaya tersebut. Kita berharap, bertemunya Biden dan Jinping, sebagai angin segar bagi terciptanya perdamaian dunia,” kata Prof. Muhammad Azhar, MA, melalui keterangan yang diterima di Jakarta, Minggu (13/11/2022) malam.
Melalui momentum G20 Bali, Prof. Muhammad berharap AS, Tiongkok dan Indonesia, bisa wewujudkan tata dunia yang damai dan adil.
“Pasca covid 19, peluang pemulihan ekonomi dunia terhalang oleh perang Rusia Ukraina yang diprovokasi oleh AS dengan melibatkan negara-negara lain dari luar Eropa. Embargo ekonomi terhadap Rusia berdampak munculnya ekonomi pasar gelap yang merusak stabilitas ekonomi global,” ujarnya.
Peran Multilateralisme PBB, kata Muhammad Azhar, menjadi melemah akibat aksi unilateralisme dalam bentuk agresi, aneksasi dan invasi.
“Peran Indonesia secara lebih aktif sangat diharapkan sesuai politik luar negeri Indonesia yang Bebas-aktif (Non-alignment) sejak KAA Bandung 1955. AS dan Tiongkok harus serius mengatasi dampak kekerasan di Suriah, Yaman, Myanmar, Ukraina, Palestina, Uighur, dll. Dunia jangan membiarkan konflik konflik kecil yang berdampak menjadi skala besar,” tuturnya.
Muhammad Azhar mengungkapkan, AS, Tiongkok dan Indonesia wajib menginisisasi reformasi PBB: pertama, status yg permanen 5 negara. Kedua, tentang hak veto. Ketiga, keterwakilan regional dan jumlah negara dalam keanggotaan tidak tetap.
Menguatnya Xenofobia
Xenofobia adalah sikap dan perilaku yang “anti” terhadap asing atau sesuatu yang asing, bukan hanya dalam pengertian orang asing, melainkan juga termasuk kepada sikap ‘anti’ dan penolakan terhadap hal-hal yang dianggap asing, seperti keyakinan, budaya, identitas, tradisi dll.
Dalam sejarah, sikap xenofobia ini telah menyebabkan berbagai tindakan intimidasi, diskriminasi, bahkan genosida.
Muhammad Azhar menyebut, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa dalam dekade terakhir ini terjadi kenaikan tendensi xenofobia dan Islamofobia di Eropa pasca membanjirnya pengungsi konflik
di Timur Tengah dan Afrika, dan Amerika setelah terpilihnya Presiden Trump menjadi pemimpin negara adidaya tersesebut.
“Persoalan ini harus disikapi dengan serius, agar perdamaian dunia benar-benar bisa terwujud,” kata Muhammad Azhar.
Ungkap Muhammad Azhar, belakangan, akibat merebaknya wabah Covid-19 dari Kota Wuhan, Cina, juga menyebabkan maraknya fenomena xenofobia terhadap etnis Cina dan orang asia secara umum di sejumlah negara Barat. Di tengah globalisasi yang menjadikan dunia semakin sempit dan aktivitas kehidupan yang saling berhimpit, tren xenofobia membuat perjalanan peradaban mundur ke abad kegelapan.
“Perlu kerja sama lintas organisasi kenegeraan maupun swasta atau civil society,” tuturnya.
Penulis: Jagad N
(Red)